“DI KABAH, KUMINTA AMPUNAN ALLAH” ...
Tawaran main sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam dalam dunianya yang kelam.
Sejak kenal sinetron, aku makin menyukai dunia akting. Aku tak peduli
meski Apih menentangku. Namun, belakangan aku paham, di balik
etidaksetujuannya, sebetulnya orang menyimpan rasa bangga. Orang tua
cerita, mereka sedang ke Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji saat
sinetron Sayap Patah yang kumainkan ditayangkan.
Ternyata, mereka nonton sinetronku. Komentar mereka membanggakanku.
Mereka mengakui, ternyata aku bisa berprestasi. Setelah itu, aku
mendapat berbagai tawaran main, antara lain sinetron Sebening Kasih,
Opera Tiga Jaman, dan Kerinduan. Selain namaku makin mencuat, rezeki
juga terus mengalir.
Namun, aku malah jadi lupa diri. Ketenaran tidak penting buatku. Yang
penting menikmati hidup. Dunia malam terus kugeluti. Kalau ke diskotek,
aku tak lupa mengonsumsi narkoba. Bahkan, untuk urusan yang satu ini,
aku bisa dibilang tamak. Biasanya, aku meminum satu pil dulu. Kalau
kurasa belum “on”, kuminum satu lagi. Begitu seterusnya.
Akhirnya, aku jadi sangat mabuk. Pandanganku pun jadi kabur. Mau melihat
arloji di tangan saja, aku harus mendekatkannya ke wajahku, sambil
menggoyang-goyangkan kepala dan membelalakkan mata supaya bisa melihat
dengan lebih jelas. Parah, ya? Begitulah kebandelanku terus berlangsung.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Aku menyesal
bukan main karena selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang
kepergiannya, aku berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit
sambil menangis. Melihatku seperti itu, Apih mengatakan, laki-laki tak
boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air mata. Bayangkan, bahkan di
saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh
kasih padaku yang durhaka ini.
Sore itu aku dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberiku ongkos. Aku
menurut. Begitu aku pulang, Allah mengambilnya. Aku syok berat. Saat
Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak
mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya.
Aku menyesali perbuatanku. Selama Apih masih hidup, aku tak pernah mau
mendengarkan ucapannya.
Sejak itu, Umi membesarkan kami berlima. Hidupku terus berjalan. Bukan
ke arah yang baik, namun aku kembali ke masa seperti dulu. Penyesalan
yang sebelumnya begitu menghantuiku karena ditinggal Apih, seolah
lenyap. Kebandelanku bahkan makin menjadi sepeninggal Apih.
Kesombonganku juga lebih besar dari sebelumnya karena merasa berprestasi
dan punya uang banyak. Tak seorang pun kudengarkan lagi nasihatnya.
Ketika temanku menasihati, aku mencibir. Siapa dia sampai aku harus
mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak kugubris. Aku
tenggelam dalam duniaku sendiri dan jadi pecandu narkoba. Waktu itu, aku
beralasan karena ada masalah di rumah. Padahal, sebetulnya alasan apa
pun, termasuk broken home atau teman, tidak bisa dijadikan alasan. Diri
sendirilah alasannya, karena bagaimana pun, kita lah yang menentukan
semua yang terjadi pada diri kita.
Jadi, tidak perlu membawa-bawa orang lain atau keadaan. Namun, kesadaran
seperti ini mana mungkin muncul pada diriku yang waktu itu sangat
arogan? Aku makin jauh dari Tuhan. Padahal, sebelah rumahku ada masjid.
Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, aku tetap melakukan
kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk bertakbir,
aku malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana aku bisa berbuat
maksiat.
Semua ilmu agama yang pernah kupelajari dan kemampuan membaca Quran
seperti hilang. Akal sehatku seperti hilang. Kecanduanku pada narkoba
juga makin parah, bahkan sampai mengalami over dosis dan aku hampir
mati. Kejahatan demi kejahatan moral terus kulakukan.
NAMA DICORET ...
Tak perlu aku menceritakan detail tentang kejahatan yang kulakukan. Yang
jelas, suatu hari aku merasa menderita karena ketakutan setelah
melakukan sebuah perbuatan. Aku benar-benar ketakutan! Aku jadi gampang
curiga pada siapa saja. Aku selalu berburuk sangka pada apa pun.
Kesombonganku pada uang dan prestasi lenyap digantikan ketakutan. Yang
kulakukan setiap hari adalah berdiam diri di kamar, dengan selalu
berpikiran bahwa setiap orang yang datang akan membunuhku. Aku sibuk
mengintip dari bawah pintu, siapa tahu ada orang datang untuk
membunuhku.
Telingaku jadi sangat sensitif. Aku sering merasa mendengar ada orang
sedang berjalan di atap rumah ingin membunuhku. Aku tersiksa selama
berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Orang-orang
mengatakan, aku sudah gila.
Pada saat bersamaan, kecanduanku pada narkoba membuatku termasuk dalam
daftar hitam dunia sinetron. Namaku dicoret. Tak ada lagi yang mau
memakaiku sebagai pemain. Selain itu, cewek-cewek yang ada di dekatku
juga menjauh. Dulu aku termasuk playboy.
Di saat aku sendiri, ada Umi yang selama ini sudah sangat sering
kusakiti hatinya. Umi tetap menyayangiku dengan cintanya yang besar.
Seburuk apa pun orang berkomentar tentang aku, hati Umi tetap baik dan
sabar. Air matanya tak pernah kering untuk mendoakan anak-anaknya,
terutama aku agar berubah jadi lebih baik.
Doa tulus Umi dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa, Allah menunjukkan
kebaikan-Nya padaku. Allah memberiku kesempatan untuk bertobat.
Kesadaran ini muncul lewat suatu proses yang begitu mencekamku.
DIAJAK UMI UMRAH
Sungguh, aku merasa sangat ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat
jasadku sendiri dalam kain kafan. Antara sadar dan tidak, aku terpana
sambil bertanya pada diri sendiri. Benarkah itu jasadku? Aku juga
disiksa habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi
kejadian yang menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan.
Aku jadi takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi.
Aku juga jadi takut mati. Padahal dulu aku sempat menantang maut.
Meminta mati datang karena aku tak sanggup lagi bertahan saat ada
masalah dengan seorang cewek. Sebetulnya sepele, kan? Tapi masalah itu
kuberat-beratkan sendiri. Rasa takut mati itulah yang akhirnya membuatku
sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam keadaan seperti ini,
yaitu Allah.
Aku teringat kembali pada-Nya dan menyesali semua perbuatanku selama
ini. Pelan-pelan, keadaanku membaik. Kesadaran-kesadaran itu datang
kembali. Aku menemui Umi, bersimpuh meminta maaf atas semua dosa yang
kulakukan. Umi memang luar biasa. Betapa pun sudah kukecewakan demikian
rupa, beliau tetap menyayangi dan memaafkanku. Umi lalu mengajakku
berumrah.
Dengan kondisiku yang masih labil dan rapuh, kami berangkat ke Tanah
Suci. Kali ini aku berniat sembuh dan kembali ke jalan Allah. Di sana,
aku mengalami beberapa peristiwa yang membuatku sadar pada dosa-dosaku
sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi mengajakku ke Raudhoh. Aku
tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja. Umi terus meminta ampunan
pada Allah.
Aku lalu keluar, berjalan menuju makam Nabi Muhammad. Aku bersalawat.
Begitu keluar dari pintu masjid, rasanya seperti ada yang menarikku. Aku
mencoba berjalan sekuat tenaga, tapi tak bisa. Kekuatan itu rasanya
sangat besar. Aku lalu bersandar pada tembok. Air mataku yang dulu tak
pernah keluar, kini mengalir deras. Aku menyesali dosa-dosaku, dan
berjanji tak akan melakukan lagi semua itu.
Bagai sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang pernah kulakukan
terbayang jelas di pelupuk mataku silih berganti, mulai dari yang kecil
sampai yang besar. Tiba-tiba dari mulutku keluar kalimat permintaan
ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku merapatkan badan
pada dindingnya.
Aku bersandar, menengadahkan tangan memohon ampun karena terlalu banyak
dosa yang kulakukan. Seandainya sepulang dari Tanah Suci ini melakukan
dosa lagi, aku minta pada Allah untuk mencabut saja nyawaku. Namun,
seandainya punya manfaat untuk orang lain, aku minta disembuhkan. Aku
yang dulu angkuh, sekarang tak berdaya. Setelah pulang beribadah, aku
membaik. Aku mencoba bertahan dalam kondisi bertobat itu, tapi ternyata
sulit luar biasa. LANJUT Part 3
No comments:
Post a Comment