Wali secara etimologi (bahasa) berarti dekat. Adapun secara terminologi (istilah) menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan Nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para Nabi, yang paling utama diantara para Nabi adalah para Rasul, yang paling utama di antara para Rasul adalah Ulul ‘Azmi, yang paling utama di antara Ulul‘Azmi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Allah tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan mereka dengan Allah. Maka dapat disimpulkan di sini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan:
Golongan pertama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib .
Golongan kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang sunnah atau menjauhi hal-hal yang makruh. Kedua golongan ini disebutkan Allah dalam firmanNya:
“(Artinya) Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (QS.Al Waaqi’ah, ayat: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan.
Ciri-ciri Wali Allah
Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmanNya: “Ingatlah; sesungguhnya para waliwali Allah Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa se dih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa”. (QS. Yunus: 62-63).
Ciri pertama, Beriman
Artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada takwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua Kalimat Syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkannya atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah,atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa keNabian dan keRasulan tetap ada sampai hari kiamat, bahwa Muhammad bukan penutup segala Rasul dan Nabi.
Ciri kedua, Bertakwa
artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah, melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan amalan sunnah. Oleh sebab itu jika ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidakpernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.
Ciri-ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan setan , mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai berbagai bentuk kemaksiatan. Sebagaimana Allah terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka : “(Artinya) Sesungg uhnya setan-setan itu mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu menaati mereka, sesungguhnya kamu menjadi orang-orang musyrikin”. (QS . Al An’aam,ayat: 121).
Terkadang setan membisikan walinya untuk berdo’a dikuburan orang-orang shalih dengan dalih untuk menghormati wali. Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa dikuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang Nabi? Jelas Nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali, kepada Nabi sekalipun tidak boleh berdoa.
Jangankan saat setelah mati, di waktu hidup saja, Nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati! Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya , saat paceklik terjadidi Madinah , Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang ternyata benar beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama‘ah dan shalat Jum’at? Adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum ( terbebas ) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
Dengan pemahaman seperti ini, terjadilah pengkultusan sang kiai atau sang guru dan pembenaran kesesatan yang dilakukan oleh sang kiai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al-Quran dan Sunnah. Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu,tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang orang sufi melakukan doktrin dalam menyebarkan kesesatan mereka. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para Nabi dan Rasul dalam hal menyampaikan wahyu yang mereka terima. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “setiap anak Adam adalah pasti bersalah , dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. AtTirmidzy no. 2499).
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah, tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al-Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah , padahal Tuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali.
Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh,kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kebanyakan para ulama salaf bila mereka mendapat karomah justru mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka diberi karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain. Banyak orang berasumsi bila seseorang dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, maka dia dianggap wali yang memiliki karomah.
Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pe dang atau bias memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati adalah bagaimana amalannya, apakah amalannya sehari-hari menurut Sunnah atau tidak ?
Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan Sunnah”.
Diriwayatkan dalam kisah seseorang bernama Mukhtar bin Abi ‘Ubaid. Dia mengaku sebagai Nabi yang menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: Sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan ke padanya wahyu ? Dua orang sahabat tersebut menjawab : Benar (wahyu dari setan), kemudian salah seorang dari mereka membaca firman Allah: “Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa”. (QS. Asy Syu’araa: 221-222).
Dan yang lain membaca firman Allah, “Dan sesungguhnya para setan itu Mewahyukan kepada wali wali mereka untuk membantahmu”. ( QS. Al- An’aam:121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al-Quran dan Sunnah. Karena Nabi menyebutkan dalam sebuah hadits :
“ Sesungguhnya dalamdiri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At-Tirmidzy no. 2988)
Berkata Abu Sulaiman Ad-Daraany:
“Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari Kitab dan Sunnah.”
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang gaib.
Asumsi ini sangat bertolak belakang denganfirman Allah, “Di sisiNya (Allah) segalakunci-kunci yang gaib , tiada yang dapatmengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (QS. Al–An’aam, ayat :59).
Dan firman Allah, “Katakanlah, tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang gaib kecuali Allah”. (QS. An Naml: 65).
Termasuk para Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada mereka. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan aku pun tidak mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al–An’aam: 50).
Dan firman Allah: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang gaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan”. (QS. Al-A’raaf: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmanNya : “Ingatlah ; milik Allahlah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata : kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az-Zumar: 3).
Tulisan ini diringkas dari tulisan Ustadz Dr. Ali Musri, MA. yang berjudul: “Syarh Hadits Wali”
sumber: www.muslim.or.id
sumber: www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment