Kedudukan Guru dan Murid Dalam Islam


ILMU, guru dan murid adalah tiga hal yang saling terkait. Ketiganya merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Ada guru jika ada murid. Begitu juga sebaliknya. Guru dan murid ada kalau ada ilmu yang diajarkan dan dipelajari. Begitulah siklus yang selalu berlaku dalam sepanjang sejarah manusia.

Memang ada istilah experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang baik). Ada juga kadang yang mengaku belajar secara otodidak, tanpa guru ia mempelajari ilmu. Itu memang bisa terjadi. Namun, tidak semua ilmu bisa dipelajari hanya dari pengalaman dan otodidak. Sebab itulah perlu sekiranya terlebih dahulu membahas apa itu ilmu. Bisakah orang mendapatkan ilmu? Dari mana kita bisa tahu? Dengan cara apa kita tahu? Siapa yang memberi tahu kita tentang pengetahuan? Apa pentingnya orang yang memberi tahu?

Jawaban yang akurat dari tiga pertanyaan pertama akan mengantarkan kepada kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Sebab, jika kita gagal mendapatkan jawaban yang awal-awal itu, maka kita sia-sia saja mencari jawaban-jawaban pertanyaan yang setelahnya.

Bisakah Kita Tahu?
Pertanyaan ini sebenarnya berimplikasi kepada konsepsi yang agak kompleks. Sebab, di masa lalu, tepatnya di masa Yunani Kuno, ada kelompok yang disebut kaum sophist (al-sūfasthā’iyyah) yang anti kepada ilmu. Mereka biasa dikelompokkan kepada tiga arus pemikiran besar, yaitu relativist (al-‛indiyyah), skeptik (al-‛inādiyyah) dan agnostik (al-lā adriyyah).

Kaum sofis dengan kompleksitas angan-angannya menolak pandangan bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan yang benar. Mereka menolak kemampuan, kapasitas manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan rupanya. Mereka menganggap, karena manusia mempunyai keterbatasan maka tidak akan sampai kepada pengetahuan yang benar.

Memang benar manusia ada keterbatasan. Namun, walaupun ada ‘keterbatasan’ tapi tidak sampai berakibat menggugurkan nilai kebenaran maupun keabsahan atau validitas pengetahuan yang dicapai manusia. Memang beberapa kasus bisa saja terjadi ketidaksempurnaan itu. Namun, dalam kondisi ‘normal’, dalam keadaan manusia yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu) fisik dan mentalnya, jasad maupun ruhnya, dan terutama sekali akal dan hati (qalb)-nya, maka pengetahuan manusia itu valid adanya.

Lalu apa yang bisa diketahui?
Memang tidak mudah mendefinisikan ilmu yang pada hari ini. Terkadang definisinya rancu akibat banyaknya nomenlaktur yang membawa kita kepada konsep yang berbeda-beda. Kita tahu ada istilah science, ada juga knowledge, ada juga ‘ilm, serta istilah-istilah lainnya. Secara jeneralnya kita sebut saja sebagai ilmu. Abaikan saja perbedaan itu, kita satukan nomenlakturnya kepada ilmu.

Kalau ingin tahu apa itu ilmu, kita bisa terlusuri dalam banyak kamus ensiklopedik Islam klasik, seperti Kasysyaf Istilahat al-Funun oleh At-Tahanawi, al-Ta’rifat oleh al-Jurjani atau juga Kasyf al-Zunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun oleh Katib Celebi. Beragam definisi ilmu dipaparkan disana. Itu menunjukkan rumitnya mendefinisikan ilmu secara spesifik. Sebab, ilmu itu bukan benda wujud seperti manusia yang dengan mudah bisa di¬-had-kan kepada al-hayawan al-natiq. Tapi ilmu merupakan wujud yang abstrak yang hanya bisa didefinisikan secara rasmiyan. Makanya definisi ilmu oleh para ulama kebanyakan berupa definisi rasm dan bukan hadd.

Untuk lebih singkatnya, ada hasil sintesis definisi ilmu dari berbagai ulama itu oleh Professor Naquib al-Attas, filosof kontemporer asal malaysia. Beliau menyatakan,
حصول معنى أو صورة الشيء في النفس ووصول النفس إلى معنى الشيء
The arrival (حصول) in the soul of the meaning of a thing or an object of knowledge and teh arrival (وصول) of the soul at the meaning of a thing or an object of knowledge.

Secara deskriptif (rasm), definisi ini menggambarkan adanya dua arah eksisnya ilmu pada manusia. Pada bagian pertama ilmu itu adalah sampainya makna sesuatu ke dalam jiwa. Artinya ilmu datang begitu saja kepada manusia. Ilmu ini kalau dalam ilmu filsafat mungkin bisa dikategorikan ilmu yang necessities atau apriori (daruriyyat). Termasuk juga ilmu ladunni.

Sementara bagian kedua, ilmu itu adalah sampainya jiwa kepada makna. Ini mendeskripsikan kepada kita bahwa ilmu itu apabila jiwa kita sudah menangkap makna sesuatu objek. Dan ini perlu dicari dan diusahakan oleh manusia. Jenis ini kalau dalam filsafat disebut aposteriori (nazariyyat).

Yang perlu diperhatikan dalam definisi itu adalah ada terminologi ‘jiwa’ (nafs). Sebab kata ini sebetulnya mengirim pesan kepada kita agar kita mengenali nafs itu. Sebab dengan mengenali nafs kita akan mengenali Sang Pencipta nafs itu sendiri. Begitu kata ahli Sufi, yang senada dengan ayat-ayat al-Quran, seperti dalam Surat al-Fushshilat ayat ke 53:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS 41: 53)

Nafs atau jiwa adalah representasi dari penyebutan manusia dalam al-Quran yang level-level jiwa manusia tersusun epada jasad, akal dan ruh. Semua level itu mempunyai kapling-kaplingnya dalam pemerolehan pengetahuan (‘ilm). Sementara jasad diwakili oleh indera yang mengahsilkan ilmu inderawi (sensible knowledge). Sementara akal mereperentasikan alat penyerap ilmu dalaman manusia yang bersifat teoretis (theoretical knowledge). Dan ruh merupakan representasi dari penangkap ilmu spirtual dan yang mempunyai potensi untuk menghubungkan manusia dengan sang Khaliqnya, selain dari peran alat-alat lainnya. Ketiganya bahu membahu memberikan kontribusi pencapaian ilmu dalam diri manusia, baik yang bersifat husuli ataupun bersifat wusuli seperti dijelaskan di atas.

Menurut Imam al-Ghazali, filosof Muslim yang tenar dengan “Tahafut al-Falasifah”-nya ini, ruh itu adalah raja dalam tubuh manusia, panglimanya adalah akal, pembantunya adalah nafsu dan prajuritnya adalah panca indera atau jasad. Sehingga, ilmu yang dicapai semestinya, ilmu wahyu menjadi porosnya dan ilmu-ilmu yang lain menjadi panglima dan pembantu-pembantu kepada ilmu wahyu.

Apa Peran Guru dalam Ilmu?
Tentu saja yang mampu mentransfer ilmu seutuhnya, baik yang level bawah (sensible knowledge), menengah (theoretical knowledge) maupun atas (spiritual knowledge), hanyalah guru sejati. Orang boleh saja berkilah bisa mendapatkan ilmu sendiri secara otodidak atau mengatakan mau belajar saja dari pengalaman (experience is the best teacher), namun yakinlah tidak akan sempurna ilmunya. Bahkan, sangat besar potensinya untuk sesat bahkan menyesatkan.

Adab Muslim pada Guru
Makanya, menarik sekiranya penulis karya ulama yang kitabnya dibaca turun temurun di pesantren, yaitu Ta’lim al-Muta’allim yang ditulis oleh Burhanuddin al-Zarnuji, menyatakan dalam syair yang dikutipnya, sebagai berikut:
أَلَا لَـنْ تَنَــالُ الْــعِـلْمَ إِلَّا بِسِــتَّةٍ سِأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاصْطِبَارٌ وَبُلْغَةٌ وَإِرْشَادُ أُسْتَاذٍ وَطُـوْلُ زَمَانِ

Kata beliau, “Engkau tidak akan mencapai ilmu itu kecuali dengan enam hal. Aku akan jelaskan kepadamu secara garis besarnya: cerdas, sungguh-sungguh, sabar, ada bekal, ada guru yang membimbing dan masa yang panjang.”
Ia jelas-jelas meletakkan peranan guru sebagai salah satu syarat mutlak mendapatkan ilmu. Jika tidak dipenuhi, maka ilmu itu tidak akan engkau capai (lan tanal).

Ini pernyataan bukan serba-serbi atau penghias bibir saja. Benar adanya bahwa tanpa guru kita akan kehilangan inti ilmu, ilmu yang hakiki mustahil didapat. Bahkan akan berpotensi besar menuju kesesatan. Makanya dalam Islam ada ilmu sanad, di mana ilmu itu mengalir melalui periwayatan sejak Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam, kepada para sahabat, kepada para tabiin, kepada para tabiuttabiin, kepada para ulama dan sampailah ilmu itu kepada kita semuanya.

Guru adalah mursyid, pembimbing. Di zaman kini, di dunia akademik maupun di perusahaan, ada konsultan atau supervisor. Guru adalah mirip-mirip dengan itu, yang membing, mensupervisi, menjadi konsultan kita dalam meniti jalan mencapai ilmu mengenali kebenaran hakiki.

Apa gunanya semua itu? Gunanya agar potensi kesalahan tidak banyak dan kesuksesan lebih mudah diukurnya.
Menurut al-Zarnuji dalam Ta’lim-nya, guru ibu bapak kita dalam ilmu. Oleh karena itu guru harus kita ta’dzimi dan hormati. Bahkan saking urgennya guru, Khalifah keempat Ali r.a menyatakan:

“Aku adalah hamba orang yang mengajariku satu huruf. Jika ia mau bisa menjualku dan bisa juga memerdekakanku.” Dengan artian, bukan berarti Sayyidina Ali r.a. ingin menjadi budaknya guru, namun saking terhormatnya seorang guru di mata Islam, maka seakan-akan kita menjadi budaknya. Walaupun tentunya tidak bisa dengan ini seorang guru semena-mena memperlakukan murid-muridnya.

Seorang guru hakiki itu sudah mempunyai seribu pengalaman, semantara murid masih sebiji sawi pengalaman. Oleh karena itu, jika kita mau menjadi orang yang betul-betul berilmu harus mempersering satu forum, satu meja, bahkan talaqqi dengan guru. Ada pepatah Arab yang senada dengan ini:

Maksudnya, seorang murid itu baru permulaan dalam menuntut ilmu, sehingga pengetahuannya masih terbatas. Sementara syeikh, guru, sudah nihayah, mempunyai pengetahui yang kompleks. Jika sering-sering murid bersama guru, tanpa perlu banyak baca buku akan mendapatkan ilmu-ilmu yang dipancarkannya, baik melalui statemen-statemennya maupun dari uraian-uraiannya yang merupakan saringan dari berbagai buku hasil bacaannya.

Tidak Mudah Menjadi Guru Sejati
Menjadi guru bukan sekedar mentrasfer ilmu, lalu selesai, seperti di zaman kita hari ini. Di dunia modern, guru tak ubahnya sebatas pembantu kita mentrasnfer ilmunya kepada kita. Jika demikian yang terjadi, itu namanya sekedar pengilmuan, menjadikan kita mengetahui ilmu yang diajarkan. Padahal, guru tidak semudah itu tugasnya. Guru adalah mereka yang mempunyai beban mengantarkan muridnya menjadi beradab.

Mendidik manusia beradab tidak semudah mentransfer ilmu. Sebab, menjadikan orang beradab itu berarti menjadi orang disiplin dalam dirinya, diri dengan alamnya, diri dengan Penciptanya. Dan tugas ini tidak bisa diemban kalau hanya menjadi guru kelas kacangan, kelas guru-guruan. Mesti guru sejati yang mengembannya.

Mengapa demikian? Hal itu karena yang mau dididik itu manusia, bukan hewan, bukan binatang. Manusia secara komprehensif sudah disinggung di atas, mempunyai jasad, akal dan ruh. Pendisiplinan jasad, akal dan ruh dalam sebuah proses pendidikan itu yang dinamakan ta’dib. Yakni menjadikan manusia beradab, dan menjauhkan manusia dari biadab atau bidunil adab.

Manusia yang sudah beradab pasti mengenal dan mengakui Allah Subhanahu Wata’ala. Mengenal maksudnya sudah berilmu dengan ilmu yang komprehensif, apakah ilmu yang level rendah, menengah dan tinggi, sebagaimana disebut di atas, sehingga tahu hakekat kebenaran (haqiqatul asya’) dan mengakui dengan artian ia berkomitmen menjalankan atau mengamalkan ilmunya sesuai yang diinginkan oleh Sang Pencipta sistem kedisiplinan (adab), baik dalam mikrokosmos (manusia) ataupun dalam makrokosmos (alam raya). Itulah yang disebut pendidikan sebenarnya dalam Islam. Dan itulah sebenarnya tugas guru sejati. Dari sini kita akan melihat bahwa menjadi guru sejati itu tidaklah semudah menjadi pentransfer ilmu saja.

Seorang guru sejati adalah yang fokus kepada tugas pendisiplinan (ta’dib) murid-muridnya. Ia tentu saja tidak disibukkan dengan urusan dunia, seandainya itu dalam keadaan normal. Walaupun ada kondisi di saat ini kondisi guru sangat sulit karena kurang diperhatikan oleh penguasa, sehingga guru-guru terpaksa berbisnis sebagai aktifitas sampingan. Padahal semestinya, sebagai pengemban tugas yang berat, kesejahteraan guru sudah terjamin. Sebab, ilmu yang hendak disampaikan atau murid yang hendak mencari ilmu, akan berhadapan dengan ilmu yang tak terbatas banyaknya. Sementara usia para murid terbatas. Apalagi usia guru yang biasanya jauh lebih senior. oleh karena itu, perjuangan guru memang luar biasa besarnya dan berat bebannya.Wallahua’lam.

Sumber :
hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment