Sungguh luar biasa adab yang dicontohkan oleh generasi salaf terhadap para ulama di antara mereka, meski berbeda mazhab dan berlainan pendapat dalam banyak masalah. Nyaris sudah tidak kita temukan lagi di masa sekarang ini, meski pun banyak yang mengaku-ngaku sebagai orang salaf.
Lihatlah apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal
kepada gurunya, Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahumallah. Meski Al-Imam Ahmad
bin Hanbal akhirnya bisa menjadi mujtahid mutlak dan mendirikan mazhab
fiqih tersendiri yang terpisah dari mazhab gurunya, namun sikap beliau
kepada gurunya tidak pernah berubah sedikit pun. Malah beliau semakin
tambah hormat dan ta'dzhim kepada sang guru.
Al-Imam Ahmad bin
Hanbal punya anak namanya Abdullah. Suatu hari Abdullah ini bertanya
kepada Ayahya,"Siapa sih Asy-Syafi'i itu wahai Ayah? Ananda tiap hari
mendengar Ayahanda selalu berdoa untuknya?". Al-Imam Ahmad
menjawab,"Anakku, Al-Imam Asy-Syafi'i itu ibarat matahari bagi dunia ini
dan ibarat kesehatan bagi manusia. Adakah yang orang yang sanggup hidup
tanpa matahari dan kesehatan atau adakah yang bisa menggantikan
keduanya?"
Adakah hari ini orang yang mengaku ulama tetapi tiap
hari mendoakan ulama lain, padahal mereka berbeda pendapat dalam banyak
hal?
Alih-alih mendoakan, yang kita lihat malah menghujat,
memaki, mencemooh dan menuduh sesat, dan seterusnya. Dimana kita
dibandingkan dengan generasi salaf dulu?
Anak Al-Imam Ahmad yang
lain bernama Shalih. Dia bercerita bahwa pada suatu hari bertemu dengan
Yahya bin Muin dan mempertanyakan," Tidakkah Ayahmu itu malu atas yang
dilakukannya?" Aku bertanya,"Memangnya Ayahku mengerjakan apa?". Yahya
bin Muin berkata,"Aku melihat ayahmu berjalan bersama Al-Imam
Asy-Syafi'i yang menungggang unta tapi Ayahmu berjalan kaki sambil
memegang tali kekang untanya". Shalih pun menyampaikan hal itu kepada
Ayahnya (Al-Imam Ahmad). Dan Ayahnya menjawab,"Kalau kamu bertemu lagi
dengan Yahya, katakan kepadanya,"Bila kamu ingin menjadi seorang faqih,
datanglah kemari dan berjalanlah bersama kita dan pegang tali kekang
dari sisi yang lain".
Buat orang Arab, menuntun unta yang
ditunggangi orang lain adalah salah satu bentuk penghormatan yang tinggi
kepada orang tersebut. Kalau di masa sekarang, kira-kira posisinya jadi
sopir, ajudan atau pembantu pribadi. Itulah yang dilakukan Al-Imam
Ahmad bin Hanbal kepada gurunya, Al-Imam Asy-Syafi'i.
Mari kita renungkan, ada dimana posisi kita sekarang ini dibandingkan akhlaq para ulama di zaman salaf dahulu?
Suatu hari ada orang mendatangi Al-Imam Ahmad dan menyampaikan
pandangannya,"Wahai Abu Abdillah, hadits dalam masalah itu tidak
shahih". Al-Imam Ahmad menjawab,"Kalau pun hadits itu tidak shahih,
namun hal itu merupakan pendapat Al-Imam Asy-syafi'i. Beliau adalah
orang yang paling kuat (tsabit) pendapatnya".
Meski pun seorang
muhaddits, namun Al-Imam Ahmad juga ahli fiqih. Beliau tidak main
jatuhkan vonis bid'ah dan sesat begitu saja atas suatu masalah yang
dianggap haditsnya tidak shahih. Sebab beliau sadar, di atas beliau
masih ada orang yang jauh lebih tinggi ilmunya dan juga seorang
muhaddits handal, yaitu Al-Imam Asyy-Syafi'i. Dimanakah kedudukan orang
itu dalam masalah hadits dibandingkan dengan Al-Imam Asy-Syafi'i?
Al-Imam Ahmad pernah berkata : Bila aku ditanya sesuatu hal yang aku
tidak tahu khabar atas jawabannya, maka Aku berkata,"Al-Imam Asy-Syafi'i
berkata begini dan begini. Karena sesungguhnya beliau adalah imam yang
alim asli dari keturunan Quraisy".
Apa yang dilakukan oleh
Al-Imam Ahmad bin Hanbal itu mungkin dianggap oleh sebagian kalangan
keterlaluan. Atau mugkin tidak sedikit yang berpikir, ah mana mungkin
seorang muhaddits dan juga mujtahid besar selevel Al-Imam Ahmad bisa
bersikap 'bodoh, dan 'bertaqlid' buta seperti itu?
Kalau kita pun
bersikap yang kurang lebih sama, maka ada baiknya kita baca lagi
kisah-kisah teladan para ulama salafus-shalih, dari sumber yang
muktamad. Kita akan terheran-heran, betapa mereka amat tawadhu', rendah
hati, dan berkepribadian yang luhur, khususnya kepada para ulama.
Kalau mau yang sudah terkumpul dengan mudah dan enak dibaca, silahkan
buka kitab Adab Ikhtilaf fil-Islam karya Taha Jabir Al-Alawani
Penulis : Ust.Ahmad Sarwat,LC
No comments:
Post a Comment