Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama
Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting
pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama
adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau
sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya
lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah
majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Para Walisongo adalah
pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah
juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi
pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke
seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan
Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha.
1. Maulana Malik
Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh
Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama
Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang
Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri
raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan
Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang,
adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam.
Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun
dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik
Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
2. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah
Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden
Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan
dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta,
wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau
Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban.
Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan
Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel
turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan
Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia
merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan
mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para
santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa
dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada
penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh
main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi,
tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul
Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga
yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya
yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama
Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja
(Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana
Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan
dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja
Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi
keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di
Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri
malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan,
se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang
penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar
Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,
Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia
juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan
ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M
dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus
tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
5. Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat
Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa
itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban
atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama
Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari
dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang
menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram
dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah
Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
6. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan
Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual
seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan
menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu
pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan
lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14
tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali
songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan
sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal
Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya
untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
7. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan
demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang
bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat
tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui
laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan
sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan
dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil
cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun
demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan
Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang
suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak
yatim-piatu dan fakir miskin.
8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung
dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus
tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak
Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Syekh Jumadil Qubro,
Tokoh Pendahulu Wali Songo
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra /
Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya
yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua).
Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai
salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang,
Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui
yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.
Asal usul Walisongo
Teori keturunan
Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah
keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya
tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada
merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau
Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam
bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan
Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg,
Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam
bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5]
mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama
Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan
mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya.
Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar
itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh
pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga
menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat
penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit
yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian
mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan
kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian
besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab
Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang
diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek
moyangnya."
Pernyataan van den
Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau
kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu
kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar
bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat
(Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di
Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir)
yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam
pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait;
seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi,
doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir,
Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary
dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum
Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena
Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh
Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan
Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam
Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga
besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar
Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari
Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini
terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia
Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama
Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak
lainnya.
Teori keturunan Cina
(Hui)
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku
Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah
keturunan Tionghoa Muslim. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat
yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah
Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo
berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang
kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber
akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila
dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda
masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen,
bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang
diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th.
Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula
tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain,
seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap
dalam tulisan Parlindungan.
Referensi :
- https://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo
- http://juragansejarah.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
No comments:
Post a Comment