Ushul fikih, Metode Ilmiah Peninggalan Islam
SALAH satu khasanah keilmuan Islam yang sangat penting dan menjadi tonggak tegaknya syariat Islam adalah ilmu ushul fikih. Melalui ilmu ini hukum-hukum Islam dapat diketahui dengan pasti (yakin).
Dengan ushul fikih juga bisa menghindari taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil dan alasannya. Seorang mujtahid bisa menentukan hukum yang paling kuat (rajih) dari dua atau lebih sumber hukum, dan darinya dapat diambil kesimpulan hukumnya.
Dengan ilmu ini seseorang juga tidak bisa sembarangan menetapkan hukum berdasar hawa nafsunya. Inilah yang tidak dimiliki oleh tradisi agama sebelum Islam seperti Yahudi maupun Nasrani. Dalam kedua agama itu, seseorang bisa menetapkan sebuah hukum sesuai kehendaknya atau kelompoknya karena tidak ada metodologi yang baku. Hukum-hukum Tuhan bisa ditetapkan sesuai kesepakatan meski bertentangan dengan hukum Tuhan itu sendiri. Sedang dalam Islam tidak sembarang orang bisa menetapkan sebuah hukum, kecuali harus menguasai ilmu ushul fikih.
Menurut asy-Syaukani ulama ushul syariah mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, mendefinisikan ushul fikih sebagai kaidah-kaidah (qawâ’id) yang digunakan untuk penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sedangkan menurut al-Amidi, ulama mazhab Syafii mengartikan ushul fikih sebagai pengetahuan mengenai dalil-dalil Fikih yang bersifat global, tata cara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum.
Keberadaan ushul fikih wujud sejak Fikih itu ada. Ini karena ilmu Fikih merupakan produk dari pemikiran ushul fikih, ketentuan dan kaidahnya. Namun mengenai pembukuannya, ilmu Fikih lebih dahulu dibanding ushul fikih. Meski demikian bukan berarti ushul fikih tidak ada sebelum adanya Fikih.
Dalam menentukan sebuah hukum, para ulama sudah menggunakan kaidah dan metode yang tetap. Artinya, kaidah dan metode ushul fikih sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka sudah memakainya meski belum bisa menjadikan ilmu tersendiri.
Sebagai contoh, ketika Abdullah Ibnu Mas’ud, seorang sahabat dan ulama fikih menetapkan masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya yaitu sampai melahirkan, ini didasarkan pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq [65]: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah [2]: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan istri, maka mereka (istri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.”
Pengambilan hukum yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud membuktikan bahwa beliau mengamalkan kaidah ushul fikih yang berbunyi, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya.”
Perkembangan Ilmu Ushul fikih
Sewaktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam masih hidup, seluruh permasalahan Fikih (hukum Islam) dikembalikan kepada beliau karena wahyu masih turun. Namun jika sahabat jauh dan kemungkinan tidak bisa bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, beberapa sahabat berusaha menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum.
Hal ini didasarkan pada isyarat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam ketika megutus sahabat Muaz bin Jabbal menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam bertanya kepada Muadz, ”Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?” Ia menjawab: ”Akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Qur`an). Nabi bertanya, ”Kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?” Ia jawab, ”Akan saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam bertanya lagi, ”Kalau tidak engkau temukan di dalam sunnah Rasul?” Ia menjawab: ”Saya akan berijtihad dengan penalaranku. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.” (Riwayat Tirmizi).
Sewaktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam wafat yang menggantikan beliau dalam menetapkan hukum terhadap persoalan yang muncul dipegang oleh sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad mulai dikembangkan yang sebelumnya tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.
Dalam hal ini para sahabat mulai menggunakan ra’yu saat melakukan ijtihad setelah tidak menemukan jawabannya dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Mereka melakukan telaah, perenungan dan pencarian terhadap sebuah kebenaran dari permasalahan itu. Baru setelah itu memberikan jawabannya. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini dengan nama ilmu ushul fikih. Padahal, secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh generasi berikutnya, dari kalangan tabi’in. Apalagi pada masa ini semakin banyak permasalahan yang muncul di kalangan umat Islam. Ini bisa dimaklumi karena daerah kekuasaan Islam semakin luas dan orang-orang non-Arab juga banyak yang masuk Islam. Para ulama yang ada di daerah yang tersebar tersebut ketika menemukan permasalahan yang dihadapi umat akan melakukan ijtihad.
Di antara tokoh tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa yaitu Said bin Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Iraq. Namun demikian ilmu ushul fikih pada periode ini juga masih belum terbukukan.
Pada masa berikutnya, permasalah umat juga semakin besar sehingga para tabi’ tabi’in juga melakukan ijtihad. Karenanya, pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak corak maupun ragamnya.
Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan al-Qur`an, Hadits, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Imam Maliki selain berpegang pada al-Qur`an dan Hadits lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli Madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah.
Setelah itu, muncullah Imam Syafi’i menyusun metode-metode penggalian hukum Islam yang dipakai oleh para ulama. Penyusunannya dengan menggunakan peninggalan hukum-hukum fikih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fikih yang bermacam-macam. Hasilnya ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fikih ahli Madinah dan fikih ahli Iraq.
Berbekal ilmu yang tinggi serta pengalamannya yang luas, Imam Syafi’i menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama ushul fikih. Kaidah tersebut dibukukan dalam karyanya bernama al-Risalah.
Inilah kitab ilmu ushul fikih pertama yang sampai kepada kita. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i dipandang oleh para ulama sebagai pencipta ilmu ushul fikih dan dilanjutkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya. Hebatnya, metode tersebut sampai sekarang belum ada yang bisa menandingi.
Sumber
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment