Kampung-Kampung Muslim di Bali



Bali dikenal sebagai pulau dewata dengan penduduk mayoritas beragama Hindu. Sedangkan Islam merupakan agama minoritas terbesar dengan jumlah penganut sebesar 520.244 jiwa atau setara dengan 13,37 persen.

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat Hindu yang sarat dengan ritual dan tradisinya yang kental, masyarakat Muslim Bali mampu berbaur dengan umat mayoritas dengan nuansa toleransi yang indah, dan menjadi warna tersendiri bagi para pelancong baik dalam maupun luar negeri. Bagaimana sejarah dan keunikan daerah tersebut, silahkan disimak.

Kampung Loloan, Jembrana

Kampung Loloan berjarak sekitar 90 kilometer dari kota Denpasar dimana besar penduduknya berprofesi sebagai pedagang dan nelayan. Kampung Loloan merupakan daerah yang dikenal sebagai pemukiman Muslim sejak lama. Kampung ini dikenal sebagai kampung kuno dan merupakan wilayah umat Islam terbesar di Kabupaten Jembrana. Keberadaan kampung Loloan ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Bugis dan Melayu yang dibawa oleh sejumlah tokoh di masa lalu.


Pondok Pesantren Manbaul Ulum di Jembrana, Bali. Pondok Pesantren Ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1935


Diketahui bhawa keberadaan komunitas Muslim di Desa Loloan ini bermula dari kedatangan sejumlah pasukan dari Bugis sekitar 4 abad yang lalu. Prajurit yang menganut agama Islam inilah yang kemudian memilih untuk menetap di sebuah muara kampung di wilayah Perancak, bukti peninggalan ini dapat ditemui dengan adanya Sumur Bajo pinggir pantai. Setelah berhenti sebentar di daerah tersebut, orang-orang Bugis ini kemudian membuat pemukiman melalui jalur Sungai Ijo Gading.

Muslim Loloan, Jembrana

Hubungan antara penganut Islam dan Hindu di Bali memang telah terjalin harmonis sejak lama. Sebab itulah atas izin penguasa Jembrana, I Gusti Arya Pancoran, kelompok Bugis – Melayu ini  diizinkan menempati daerah Loloan. Selain itu, kedatangan seorang ulama besar dari tanah Melayu bernama Buyut Lebai juga membuktikan hubungan kampung Islam di Bali dengan dunia luar telah terjalin sejak lama. Makam Buyut Lebai sendiri bisa ditemukan di Jalan Gunung Agung, Loloan Timur, Jembrana.
Karena jalinan hubungan baik dengan penguasa setempat, Buyut Lebai diperkenankan untuk  mengajarkan agama melalui dakwah.Penggunaan Bahasa Bugis dan Melayu di Kampung Loloan masih cukup terasa hingga sekarang sekalipun mulai terasa mengalami kelunturan.

Kampung Pegayaman, Buleleng

Kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim Pegayaman, Buleleng, tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya, yang nampak berbeda hanyalah rumah ibadah. Hal ini justru menjadi hal yang cukup unik karena simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik oleh kelompok Muslim. Akulturasi agama dan tradisi di Bali nampak harmonis, bahkan termasuk pula dalam pemberian  nama-nama anak mereka. Nama-nama seperti Wayan/Putu, Made, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali. Sehingga telinga kita merasakan hal yang unik saat mendengar nama Ketut Abdul Karim, Nyoman Abdurrahman, dan semacamnya.


Asal mula penduduk kampung Pagayaman ini dipercaya berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh Raja Buleleng pada zaman kerajaan Bali. Tinggal di daerah berbukit yang dikelilingi pepohonan yang rindang, Penduduk Muslim Pagayaman yang berjumlah sekitar 5000 jiwa ini tekun menjaga adat istiadat leluhur di tengah bergulirnya arus kemajuan zaman..


Yang sedikit berbeda dari kebiasaan komunitas Muslim lainya di Bali, di Pagayaman, shalat Tarawih dilakukan menjelenag pukul 22.00 WITA dengan alasan memberikan kesempatan kepada para wanita yang memiiki banyak kesibukan untuk mempersiapkan diri. Jika lebaran tiba, perayaan Idul Fitri di Pagayaman juga dipengaruhi oleh tradisi Bali yang kental berupa pakaian atau pun asesoris yang dikenakan.

Kampung Gelgel, Klungkung

Kampung Gelgel dipercaya sebagai permukiman muslim tertua di Bali. Dari kampung Gelgel inilah sejarah lahir dan tumbuhnya komunitas Islam di Pulau Dewata. Desa Gelgel terletak di Kabupaten Klungkung, sekitar enampuluh kilometer arah timur Denpasar. Di kampung ini banyak ditemukan jejak-jejak penyebaran Islam, salah satunya adalah Masjid Nurul Huda, sebuah  Masjid tertua di Bali, sehingga tidak mengherankan Gelgel disebut sebagai kampung Islam.

Masjid Nurul Huda, diyakini sebagai masjid tertua di Bali

Salah satu keunikan Desa Gelgel adalah terdapat aturan bahwa kepala Desa hanya boleh dijabat oleh orang yang beragama Islam. Saat ini setidaknya ada sekitar 280 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa yang hidup di desa tersebut. Selain itu, di Desa Gelgel, terdapat tradisi “Rodatan” yakni sebuah pentas  musik Islami yang dimainkan warga sekitar pada bulan-bulan tertentu.

Islam diyakini sudah menyebar di Desa Gelgel sejak lama. Penduduk sekitar percaya bahwa sejarah masuknya Muslim ke desa mereka berawal saat Raja Gelgel, Ketut Dalem Klesir, berkunjung ke Majapahit. Saat pulang ke Klungkung, Ketut Dalem dikawal empat puluh prajurit muslim dari Majapahit. Sebagian prajurit ini kemudian tak kembali ke Majapahit. Dengan seizin raja, mereka memilih untuk menetap di Klungkung, mendirikan Masjid Nurul Huda, dan berketurunan. Pasukan Muslim Majapahit inilah yang dipercaya sebagai penyebar Islam pertama di Bali.

Kampung Kecicang Islam, Karangasem

Kampung Kecicang Islam berada di kawasan Banjar Dinas Kecicang Islam, Desa Bungayan Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Kampung ini adalah sebuah kampung Islam terbesar di Kabupaten Karangasem dengan penduduk mencapai 3.402 kepala keluarga.

Kampung ini berbatasan dengan Banjar Kecicang Bali di sebelah barat daya, Banjar Triwangsa di sebelah barat dan di selatan berbatasan dengan Banjar Subagan. Penduduk Kampung Kecicang mempercayai bahwa leluhur mereka berasal dari penduduk Tohpati Buda Keling. Setelah raja mereka meninggal, raja baru memindahkan penduduknya ke Kecicang dan Tohpati kota dengan cara membuka hutan. Nama kecicang sendiri diambil dari nama bunga berwarna putih yang biasa dimasak oleh masyarakat setempat. Sementara itu sebagian lain menyebut kecicang berasal dari kata incang-incangan yang berarti saling mencari saat perang pada zaman kerajaan.

Keunikan kampung Kecicang Islam adalah seluruh masyarakatnya menganut agama Islam. Mata pencaharian masyarakat kecicang sebagian besar adalah pedagang, petani dan sebagian lainnya memilih merantau ke luar Kecicang.

Bukti peninggalan Islam di Kampung Kecicang adalah terdapat masjid Baiturrahman yang telah berdiri sejak akhir abad 17. Saat ini, masjid tersebut akan diperbesar dengan bangunan tiga lantai seiring dengan pertumbuhan penduduk Kecicang yang setiap tahunnya semakin bertambah.

Selain itu, kesenian bernuansa Islam tetap dilestarikan sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Kecicang. Tari-tarian itu antara lain Tari Rudat yang merupakan akulturasi budaya Bali dan Timur Tengah. Sementara itu tradisi ritual keagamaan seperti tahlilan, ziarah, dan selamatan juga masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Kecicang.

Sebagaimana masyarakat Muslim di Bali lainnya, hubungan antara masyarakat Kecicang Islam dengan penganut Hindu di Bali sebagai mayoritas terjalin harmonis. Secara umum, toleransi beragama di Bali telah terjalin dengan baik, dibuktikan dengan tradisi saat Shalat Idul Fitri, dimana sejumlah polisi adat (pecalang) turut serta membantu keamanan di hari raya Umat Islam tersebut, pun demikian penganut Hindu juga mempunyai tradisi ngejit dengan berbagi makanan kepada umat Islam. Demikian sebaliknya ketika umat Hindu merayakan hari raya seperti Nyepi, umat turut mengamankan dan memberi hadiah makanan.

Sumber :
- http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/menyambangi-kampung-kampung-muslim-di-bali
- http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kampung-islam-di-loloan-bali
- http://balymuslim.blogspot.co.id/2015/11/sejarah-berdirinya-kampung-islam-gelgel.html
- http://kecicangislam.blogspot.co.id/

No comments:

Post a Comment