Memahami Perbedaan Makna Dai dan Ulama


Dalam sebuah diskusi, ada rekan yang nyeletuk bahwa Ust Fulan adalah seorang ulama. Ia sering mengisi pengajian di Televisi. Jamaahnya juga banyak. Karena ceramahnya enak di dengar, ia menjadi ust yang terkenal.

Benarkah seseorang yang pandai berceramah dan berorasi serta merta disebut sebagai seorang ulama? Benarkah ustadz yang sering berceramah keliling dunia dengan jamaah ribuan atau jutaan bearti ia menjadi seorang ulama? Tentu saja tidak.

Masyarakat kita memang masih banyak yang tidak bisa membedakan mana itu ulama dan mana itu dai. Mereka yang biasa ceramah di TV itu, adalah para dai.

Lalu apa bedanya ulama dengan dai? Ulama (baca: ulama agama) adalah orang yang paham benar mengenai seluk beluk hukum dan perkara agama. Mereka adalah pakar di bidang cabang ilmu keislaman. Bisa jadi mereka adalah pakar tafsir, maka ia adalah ulama tafsir, pakar hadis, maka ia adalah ulama hadis, pakar dalam ilmu fikih, maka ia adalah fuqaha, pakar dalam ilmu kalam, maka ia adalah ulama kalam dan demikian seterusnya. Jadi, baru bisa disebut dengan ulama manaka mereka benar-benar pakar terhadap ilmu keislaman.

Apakah para dai itu ulama? Jika melihat keterangan di atas, jawabannya jelas belum tentu. Jika kapasitas keilmuan mereka memadai, maka mereka baru bisa disebut sebagai seorang ulama. Namun jika secara keilmuan belum memadai, maka ia hanya sebatas dai saja.

Dai di sini adalah seorang muslim yang mengajak kepada orang lain untuk berbuat kebajikan sesuai dengan ajaran Islam. Jika mengacu pada keterangan tentang dai tadi, maka setiap kita bisa menjadi dai. Setiap kita, meski hanya baru hafal beberapa surat pendek, namun ketika kita sudah mengajak kepada orang lain untuk melakukan kebajikan, maka kita sudah bisa disebut sebagai dai. Artinya, dai adalah juru dakwah. Syarat untuk menjadi dai, tidak seberat syarat untuk menjadi seorang ulama.

Kaderisasi dai juga bisa lebih cepat. Satu tahu, atau bahkan satu minggu, asal seseorang sudah mempunyai dasar-dasar keislaman yang baik, ia sudah bisa menjadi dai. Tapi tidak demikian untuk ulama. Menjadi seorang ulama, butuh waktu yang cukup panjang. Butuh belajar secara kontinyu selama bertahun-tahun.  Itu pun, belum tentu ia akan menjadi ulama.

Ulama ini mempunyai tanggungjawab yang lebih berat. Ia menjadi penopang terhadap keberlangsungan agama Islam. Berbagai persoalan umat yang terus berkembang menjadi tugas ulama untuk mencarikan solusi alternatifnya agar sesuai dengan hukum Islam.

Karena tugas ulama sangat berat, maka ulama menjadi pewaris nabi. Sabda Rasulullah saw:
وإن العلماء ورثة الأنبياء، إن الأنبياء لم يورثوا ديناراً ولا درهما، ولكن ورّثوا العلم
Artinya: “Dan sesungguhnya ulama menjadi pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu”.

Seorang ulama adalah seorang dai juga. Dengan ilmu yang dimiliki, ia akan menebarkan kebajikan kepada umat manusia. Tapi belum tentu seorang dai adalah seorang ulama. Jadi ringkasnya, setiap ulama adalah dai, dan tidak setiap dai adalah ulama. Umat Islam membutuhkan kedua-duanya agar perjalanan syariat Islam dapat tegak sesuai dengan harapan. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment